v Tentang Kepemimpinan dengan Kekuasaan
Kepemimpinan dengan kekuasaan (power) pada umumnya tidak disukai, tetapi dalam keadaan tertentu justru mampu memberikan hasil yang lebih optimal.
1. Yair & Khatab (1995)
Siswa – siswa di sekolah – sekolah lanjutan “negeri” (yang dikontrol oleh pemerintah) untuk anak – anak Arab di Jerusalem Timur tidak menghargai guru. Kewibaan guru merosot (khususnya pada masa intifada), guru kehilangan kendali pada disiplin murid, murid memperlakukan guru dan benda – benda milik guru tidak sebagaimana mestinya, mereka memanfaatkan campur tangan serdadu atau pasukan keamanan Israel untuk mengurangi kewibaan guru (dengan memulai kerusuhan dan memancing polisi untuk masuk ke sekolah), sekolah sering ditutup, dan murid sering membolos.
Keadaan seperti ini tidak terjadi di sekolah – sekolah swasta. Hubungan guru-murid tetap terjaga dan pelajaran tetap berlangsung (termasuk dalam masa intifada) karena pemimpinan sekolah dapat mengatur sendiri hubungan dengan murid – muridnya, dan tidak perlu taat atau dicampuri oleh petugas, penguasa atau aparat pemerintah.
2. Fodor & Riurdan (1995)
216 mahasiswa pria di Universitas Clarkson, Postdam, NY, melalui test TAT (Thematic Apperception Test) dari McClleland diminta pendapatnya tentang kepemimpinan. Ternyata pemimpin dengan n-Power (hasrat akan kekuasaan) yang lebih tinggi lebih tidak disukai daripada yang n-Power-nya rendah. n-Power yang tinggi paling tidak disukai dalam situasi kelompok yang mengandung konflik internal yang tinggi.
v Tentang Kepemimpinan Demokratik
Tipe kepemimpinan ini sering dianggap yang terbaik, tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
1. Chernyshev & Suryaninova (1990)
Mereka melakukan eksperimen kepada anak – anak usia 5-7 tahun. Anak – anak tersebut diberi tugas kelompok, yaitu (1) menempel dan (2) mementaskan sandiwara. Ternyata kelompok yang mempunyai pemimpin dapat bekerja lebih efektif dan lebih efisien, baik pada kelompok menempel maupun pada kelompok mementaskan sandiwara. Kepemimpinan pada anak – anak usia tersebut berkaitan dengan aktivitas , kerja sama, dan kemandirian. Pemimpin yang paling berhasil adalah yang paling mampu mengatasi konflik –konflik internnya.
2. Gray & Mizener (1996)
Penelitian Gray & Mizener terhadap sejumlah mahasiswa (N = 201) dan karyawan/karyawati (N = 192) di New Wilmington, PA, Amerika Serikat menunjukkan bahwa semakin besar kepercayaan mereka pada equality (anggapan bahwa kemampuan dan bakat manusia tersebar merata ke semua orang , tidak teerpusat pada orang – orang yang berpendidikan tinggi saja) semakin besar pula kepercayaan mereka pada kepemimpinan demokratik.
v Tentang Kepemimpinan Laissez Faire
Biasanya dianggap paling tidak produktif, paling tidak efisen, tetapi sebetulnya tergantung pada berbagai factor.
1. Avolio & Yammarino (1990)
Dari penelitian terhadap 375 karyawan tentang 111 manajer disimpulkan bahwa kepemimpinan karismatik atau laissez faire tergantung pada pandangan subjektif masing – masing, tidak ada criteria objektif.
2. Dubinsky, Yammarino, dan Jolson (1994)
Dari penelitian terhadap 174 karyawan dan manajer bagian sales dari sebuah perusahaan produsen obat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan contingent reward (member ganjaran sesuai dengan situasi hasil karyawan masing – masing) lebih efektif daripada kepemimpinan laissez faire dan management by exception (karyawan tertentu dikecualikan atau diberi keistimewaan) karena dalam kepemimpinan contingent reward terdapat keterlibatan yang tinggi dari atasan terhadap bawahannya.
3. Yammarino, Spangler, dan Bass (1993)
Penelitian jangka panjang terhadap perwira Angkatan Laut Amerika Serikat, mulai lulus Akademi Angkatan Laut ( US Naval Academy) sampai mereka aktif sebagai perwira di kapal perang. Penelitian dilakukan melalui penilaian bawahan, atasan, dan catatan prestasi perwira – perwira yang bersangkutan. Hasilnya adalah bahwa pengalaman kerja menentukan tipe kepemimpinan perwira: transformational, transaksional atau laissez faire. Sebaiknya, tipe kepemimpinan dapat meramalkan perilaku kepemimpinan yang akan diambil oleh setiap perwira tersebut pada saat berdinas di kapal. Jadi, pengalaman akhirnya lebih menentukan tipe kepemimpinan, walaupun mereka berasal dari pendidikan yang sama